Minggu, 11 Maret 2012

Budaya memakai koteka

Setiap suku bangsa pasti memiliki kebudayaan dan adat istiadatnya masing-masing. Mulai dari upacara adat, kepercayaan, makanan, dan juga pakaian. Di Papua yang terkenal dengan budayanya yang sangat eksotis, pakaian khasnya merupakan salah satu hal yang unik untuk diceritakan, khususnya yaitu Koteka

Koteka adalah pakaian untuk menutup kemaluan laki-laki, dipakai oleh sebagian dari lelaki Papua yang umumnya berdiam di pegunungan. Hingga kini, pakaian “minim” ini masih digunakan oleh sebagian dari mereka untuk menutup kemaluannya. Koteka terbuat dari kulit labu air, isi dan biji labu tua dikeluarkan lalu kulitnya dijemur. Menurut Pak Nato (panggilan Pak Natalis), secara harfiah koteka bermakna “pakaian”, kata ini berasal dari bahasa salah satu suku Papua di daerah Nabire yaitu suku Paniai. Namun di daerah wamena sini orang-orang menyebutnya dengan “Horim” atau “Holim”. Untuk ukuran dan bentuk pun beda-beda, perbedaan ini berhubungan dengan jenis acara atau kegiatan yang dilakukan. Contohnya, koteka berukuran panjang digunakan untuk upacara adat, atau jika terjadi perang suku, dan biasanya sudah diberi hiasan atau ukiran terlebih dahulu. Untuk koteka ukuran pendek digunakan untuk kegiatan sehari-hari misal pada saat bekerja di hutan atau di ladang. Bentuk koteka pun bermacam-macam, ada yang bulat dan ada yang lonjong, ada juga yang berbentuk seperti huruf L. Suku Yali, misalnya, lebih menyukai bentuk labu yang panjang.
Tak sebagaimana anggapan umum, ukuran dan bentuk koteka tak berkaitan dengan status pemakainya. Ukuran biasanya berkaitan dengan aktivitas pengguna, hendak bekerja atau upacara. Banyak suku-suku di sana dapat dikenali dari cara mereka menggunakan koteka. Koteka yang pendek digunakan saat bekerja, dan yang panjang dengan hiasan-hiasan digunakan dalam upacara adat.
Namun demikian, setiap suku memiliki perbedaan bentuk koteka. Orang Yali, misalnya, menyukai bentuk labu yang panjang. Sedangkan orang Tiom biasanya memakai dua labu.
Seiring waktu, koteka semakin kurang populer dipakai sehari-hari. Koteka dilarang dikenakan di kendaraan umum dan sekolah-sekolah. Kalaupun ada, koteka hanya untuk diperjualbelikan sebagai cenderamata.
Di kawasan pegunungan, seperti Wamena, koteka masih dipakai. Untuk berfoto dengan pemakainya, wisatawan harus merogoh kantong beberapa puluh ribu rupiah. Di kawasan pantai, orang lebih sulit lagi menemukannya.


Operasi Koteka

Sejak 1950-an, para misionaris mengampanyekan penggunaan celana pendek sebagai penganti koteka. Ini tidak mudah. Suku Dani di Lembah Baliem saat itu kadang-kadang mengenakan celana, namun tetap mempertahankan koteka.
Pemerintah RI sejak 1960-an pun berupaya mengurangi pemakaian koteka. Melalui para gubernur, sejak Frans Kaisiepo pada 1964, kampanye antikoteka digelar.
Pada 1971, dikenal istilah "operasi koteka" dengan membagi-bagikan pakaian kepada penduduk. Akan tetapi karena tidak ada sabun, pakaian itu akhirnya tak pernah dicuci. Pada akhirnya warga Papua malah terserang penyakit kulit.


Seiring waktu, koteka saat ini kurang populer untuk dipakai sehari-hari. Di kota Wamena saja saya jarang sekali melihat ada orang yang memakainya. Saat ini ada larangan memakai koteka di kendaraan umum, sekolah, atau jika ingin ke gereja. Namun di kawasan pegunungan, masih banyak para pria yang memakainya. Tapi hati-hati jika ingin berfoto dengan mereka, sekali anda mengambil gambar mereka, tanpa sungkan-sungkan mereka akan menarik bayaran dan kita harus siap merogoh beberapa puluh ribu rupiah.
Meski saat ini koteka sudah jarang yang memakai, saya yakin di dalam hati para lelaki Papua mereka tetap menghargai koteka sebagai warisan budaya nenek moyang. Saat ini, koteka lebih banyak ditemukan tergantung di toko-toko suvenir. Jika anda ingin membelinya, tidak perlu menjadikannya sebagai pakaian untuk dipakai, namun bisa sebagai tanda mata bahwa anda pernah berkunjung ke daerah Papua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar